Belenggu di Masa Lalu

Oleh : Rabi’ah Nur Azizah

Kabut pagi masih menutupi jalan desa. Satu per satu lampu mulai padam.
Sedikit sinar mentari mulai menyapa, menembus celah-celah dinding rumah. Desa
Duku, Kecamatan Belitung, Kabupaten Janggalan. 75% masyarakatnya bermata
pencarian sebagai petani, 25% lainnya ada yang berdagang atau merantau ke kota
seberang. Tak heran, sepagi ini hentak kaki warga desa mulai terdengar melawan
suara jangkrik yang masih nyaring, membawa cangkul dan capingnya menuju sawah.

Ajeng Bratandari Adiwidya. Remaja yang masih duduk di bangku SMA, juga
salah satu dari sedikit remaja desa yang masih bertahan melanjutkan pendidikannya.
Pagi itu mimpinya rampung setelah mendengar suara gaduh dari luar kamar.

“Ada apa buk? masih pagi sudah ramai?” suara Ajeng memecah dialog antara ibu
dan bapaknya.
“Sindi, anak Pak Sutris. Tadi malam ke warung Bu Ida mau beli gula. Pulangnya ada
yang mau melecehkan dia, tapi syukur ada Pak Ahmad baru pulang dari masjid yang
menghentikan kejadian itu,” jelas bapak menjawab pertanyaan Ajeng.
“Sudah berapa kali kasus seperti ini terjadi di desa kita? Terlalu sering, tapi tidak ada
tindakan apapun, yang ada malah korban disalahkan,” jawab Ajeng sembari berjalan
menghampiri segelas air yang terletak di meja makan.
“Kan memang sudah dibilangi, kalau habis maghrib jangan keluar. Apalagi
perempuan!” jawab bapaknya dengan tegas. Ajeng kembali ke kamar dengan alisnya
yang menyatu satu sama lain. Bagaimanapun juga bapaknya tidak akan mau kalah
dari perdebatan itu.

Walau usianya yang terbilang masih muda, Ajeng terbilang remaja yang kritis
dan peka akan permasalahan yang ada di masyarakat. Ia tahu benar kasus-kasus
pelecehan memang sering terjadi di Desa Duku, konon katanya itu adalah ulah dari
para pendukung calon kepala desa yang kalah dalam pemilihan umum. Jangan tanya
mengenai bagaimana kepala desa menjaga desanya, karena memang ini yang terjadi.
Perempuan tidak boleh keluar setelah azan maghrib, apalagi sendirian. Jika terjadi
sesuatu yang buruk warga cenderung menyalahkan korban yang dinilai tidak bisa
menjaga diri.

Pendidikan warga desa Duku juga masih tergolong rendah. Berbagai adat,
pamali, dan pembodohan masyarakat masih kental terlaksana. Dulu sewaktu
pemilihan kepala desa setiap warga menerima uang Rp.50.000,00 sebagai sogokan.
Tentu saja, suara warga bisa dibeli. Selain uang yang diterima, para pejabat itu
menebar janji-janji yang amat manis. Manis di awal asam di akhir, semua hanya
omong kosong belaka yang dibumbu sedemikian rupa. Jika salah satunya kalah dan
tak terima inilah yang terjadi. Kesejahteraan warga terancam akibat permainan
politik kejam, sedang pendidikan warganya masih tergolong terbelakang.

Malam hari. Ajeng duduk di sudut kamar, memandangi setiap retakan dinding
yang membuat rumahnya tak nampak kokoh. Pikirnya menjalar ke berbagai hal.
Dalam benaknya ia membatin, ibarat dinding yang ia tatap, rasa aman para gadis
desa yang pernah mengalami pelecehan itu sudah pastilah retak. Tak lagi sama
dengan sebelumnya. Bahkan mungkin dunianya sudah seakan ikut runtuh. Runtuh
bersama dengan direnggutnya hal yang amat berharga dari diri mereka. Terlebih
stigma negatif yang terus menjadi buah bibir dikalangan masyarakat desa. Ajeng tak
mau duduk berpangku tangan menyaksikan semua ketidakadilan. Pikirnya terus
menjalar, mencari celah, dan mencari cara.

20.00. Pintu rumah warga sudah banyak tertutup, bahkan ada yang sudah
menutup kelambunya rapat-rapat. Ajeng dari dalam dapur keluar, menenteng tas
kecil yang sudah ia lingkarkan dibadannya. Menuju ruang tamu tempat bapak dan
ibunya menonton sinetron yang sudah menjadi rutinitas wajib mereka.
“Kenapa bawa tas?” tanya bapaknya.
“Mau ke rumah Pak Kades, dia tidak seharusnya membiarkan semua ini terjadi Pak”
jawab Ajeng.
“Ngawur kamu, sudah tau kemarin ada yang hampir dilecehkan sekarang masih mau
ke luar malam. Mau apa?”.
“Ini tidak bisa dibiarkan, Pak. Setiap orang berharga, kita harus saling melindungi
satu sama lain” Jelas Ajeng.
“Itu bukan urusanmu, kamu sekolah dulu saja yang benar”, bapaknya membentak
Ajeng yang tetap memaksa untuk keluar.

Ajeng menghembuskan napas panjang, mengucap salam, berjalan keluar
rumah dengan raut wajah masam. Sedang bapak dan ibunya dihinggapi
kekhawatiran, berusaha melangkahkan kaki jauh ke depan. Menyusul anaknya yang
sedang terbakar akan kemarahan.
Di jalan. Ajeng terus melangkahkan kaki tanpa ragu. Jauh di depan bapak dan
ibunya. Matanya memandang ke depan. Tak menghiraukan kanan dan kirinya. Jarak
1,5 km bukan apa-apa bagi Ajeng yang terbiasa berjalan jauh dari rumah ke sawah.
Hingga dipertengahan jalan. Angin menyelisir jalan, dinginnya menembus tulang.
Ajeng tersentak kaget, matanya perlahan melirik ke arah kanan, kakinya hampir
membeku dibebani rasa cemas. Tangannya gemetar. Dua orang lelaki dengan tubuh
gagah, memakai topi hitam dan masker berdiri tak sampai satu meter dari dirinya.
Mata mereka saling menatap. Ajeng membelalak kaget. Dua orang secara bersamaan
muncul dari sisi kanan pagar semak. Walau tak jauh dari daerah rumah warga tapi
jalan kecil itu sudah sepi akan lalu lintas pengendara.
Ajeng melangkah mundur dengan hati-hati. Pelan. Sesekali sudut matanya
melirik ke depan dan belakang. Sedang dua orang laki-laki itu terus mendekat.
Memakan jarak diantara mereka. Mata Ajeng terpaku akan sorot mata salah seorang
diantara mereka yang amat terlihat picik. Caranya melangkah maju amat
menyeramkan. Perlahan, namun memberi kesan yang mencekam.
Jalan belakang sudah habis terbuang, tinggal semak-semak dan benar-benar
tersudutkan. Ajeng tersudut disatu sisi. Tangannya gemetar, tapi sorot matanya masih
tajam. Tangannya yang sedari mengepal erat, ia lempar tepat ke depan kedua wajah
mereka. Sontak dua laki-laki itu memegang matanya yang kepanasan. Bubuk cabai
yang sedari tadi Ajeng genggam berfungsi dengan baik.
Ajeng berlari ke belakang mereka, dikeluarkannya lonceng yang ia simpan di
dalam tasnya. Dibunyikannya keras-keras. Satu per satu warga membuka tirai
rumahnya. Ajeng menjerit meminta tolong. Dua laki-laki itu yang kini tampak
kebingungan. Mencoba melarikan diri, namun tubuh mereka terbentur pohon yang
ada di sisi-sisi jalan.

Para warga keluar. Menghampiri Ajeng. Bapak dan ibunya juga tiba di tempat
ketika warga sudah ramai menangkap pelaku. Ajeng menghampiri orang tuanya yang
dipenuhi rasa cemas. Memeluk. Menenangkan diri satu sama lain.

Para warga membuka masker kedua pelaku, ternyata mereka adalah warga
dari desa tetangga yang selama ini berkeliaran melecehkan warga desa. Tak
menunggu waktu lama setiap warga memberi memar, dipukulinya habis-habisan,
ditonjok, ditampar, ditendang. Kemarahan warga atas ketakutannya selama ini
terluapkan. Dua orang itu lunglai tak berdaya. Nyawanya telah melayang, namun
luka yang diciptakan tak akan pernah hilang, menjadi belenggu bagi para korban.

admin ALPHA

UKM LPMM yang berada di lingkup FMIPA dengan nama "ALPHA" yang selalu membela kebenaran walaupun berada dalam kesendirian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *